Chapter 108: Cukup Satu Tangan
"Aku berada di dekat kolam renang kemarin kak. Cepatlah ke sini!" Suara Hannah benar-benar seperti orang yang menangis sedih.
"Tunggu aku!" Randika langsung menutup teleponnya dan langsung berlari menuju lokasi.
Tak lama kemudian, Randika sudah berada di tempat pertemuan dan Hannah menunggu di depan pintu.
"Han, kamu baik-baik saja? Siapa yang melabrakmu?" Randika bertanya sambil terengah-engah. Mana bajingan yang berani mengganggu keluarganya?
Namun, aksi ini hanya agar dia terlihat keren dan peduli saja. Mungkin teman-teman perempuannya akan kepincut dengan kepedulian dirinya itu.
Sudah, sudah, hentikan khayalanmu Randika!
"Kak!" Melihat Randika, muka Hannah bukannya terlihat menangis malah terlihat seperti orang kesal.
"Jangan khawatir, aku sudah di sini! Sekarang kasih tahu aku kejadiannya." Randika sebenarnya sedikit cemas dengan adik iparnya ini. Bunga cantik seperti dirinya itu bisa jadi bahan penindasan oleh perempuan lain ataupun jadi rebutan para lelaki.
"Kak, aku tadi dipukul orang." Namun, muka Hannah sekarang terlihat ingin menangis.
"Tenanglah, kakakmu ini akan mengurus orang itu." Sambil mengelus kepala adiknya, Randika bertanya. "Jadi, ceritakan apa yang terjadi sebenarnya."
"Jadi begini." Hannah menenangkan dirinya dan menceritakan apa yang terjadi.
"Jadi setelah titip absen untuk kelasku itu, aku pergi mengunjungi klub karateku. Namun, orang dari klub taekwondo mendatangi kita dan menantang kita. Tentu saja kita menerimanya! Tapi… Kami kalah dan kami diejek habis-habisan oleh mereka. Jadinya aku langsung menelepon kak Randika."
Hannah lalu memperhatikan ekspresi Randika yang semakin lama semakin terlihat malas tersebut.
Adik iparnya ini memang licik, karena dia tidak bisa menang maka dia mencari seseorang yang bisa menjadi ujung tombaknya.
Terlebih, Hannah mengatakan bahwa dia dilabrak untuk memancing Randika untuk datang ke tempatnya. Adik iparnya ini bahkan pura-pura menangis agar Randika semakin percaya.
Kemampuan akting Hannah benar-benar patut diacungi jempol.
Randika sudah menebak arah pembicaraan ini ke mana. "Terus apa hubungannya kau dilabrak?"
"Tentu saja ada." Hannah langsung menjawab. "Meskipun aku ikut karate hanya untuk poin saja, tetapi setelah ditantang begitu masa kita diam saja? Jadi kita lawan mereka dan ternyata…."
"Dan ternyata kalian kalah? Terus kamu menghubungiku untuk balas dendam pada mereka? Sejauh ini apakah aku salah?" Randika menghela napas dalam-dalam.
"Benar! Ah! Maksudku bukan begitu, mana mungkin gadis secantik diriku ini menyimpan dendam? Aku hanya ingin mengenalkan mereka pada kakak. Nanti kak Randika tahu sendiri kalau mereka itu menyebalkan." Kata Hannah sambil tersenyum lebar.
"Tunggu sebentar!" Randika dengan cepat menghentikan Hannah. "Han, biar aku jelaskan padamu kenapa aku tidak bisa membantumu. Pertama, aku bukan klub karatemu. Kedua, aku bukan mahasiswa sekolah ini. Terus buat aku membantumu?"
"Kak Randika tunggu!" Hannah kembali menggunakan jurus mautnya. Dia dengan erat memegang tangan Randika dan meletakannya di antara belahan dadanya. Lalu suaranya menjadi sangat memelas bagaikan suara kucing, dia juga menarik-narik tangan Randika itu. Selain rasa nikmat itu, Randika juga merasa tangannya mau copot.
Randika dengan cepat lepas dari cengkraman adiknya itu dan mengatakan. "Maaf, aku tidak bisa membantumu kali ini. Sudah itu saja yang ingin kau bicarakan? Aku masih ngantuk dan ingin tidur lagi."
Melihat Randika yang mau pergi itu, dengan cepat Hannah menghalanginya.
Jika tidak bisa dengan sifat manja, saatnya menggunakan cara yang lebih keras!
"Ayolah kak, tolong bantu aku." Hannah menyeret Randika.
"Aduh sudahlah." Randika tidak habis pikir dengan adik iparnya ini, dikira dirinya ini ada untuk menyelesaikan semua masalahnya?
"Ayolah kak, kali ini saja aku minta tolong. Bagaimana kalau nanti aku akan memujimu di depan kak Inggrid?" Hannah mengedipkan matanya dan mengatakan. "Aku juga berjanji tidak akan menjebakmu ataupun menjelek-jelekanmu di depan kak Inggrid lagi. Jadi tolonglah kak, nanti klub karateku bubar gara-gara klub taekwondo bagaimana?"
Randika menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pegang kata-katamu itu ya."
Melihat Randika yang sudah luluh itu, Hannah senang bukan main. "Kalau begitu, hajar mereka semua kak!"
Dalam hatinya Hannah sudah tertawa licik, dia telah berhasil menipu kakak iparnya itu karena dia tidak mengatakan kapan dia akan menepati janjinya itu.
Akhir kata, Hannah membawa Randika ke ruangan klub karate.
Ketika Randika masuk ke ruangan yang luas ini, terlihat kerumunan orang yang terpisah menjadi dua. Sudah jelas bahwa satu adalah anggota klub karate dan satunya adalah si penantang yaitu anggota taekwondo.
Pada saat ini, mereka terlihat sedang sparing dan semuanya dengan semangat menyoraki mereka.
Hannah lalu menyeret Randika ke tengah-tengah anggota klub karatenya. "Lihat kak, ketua klub kami sedang bertanding!"
Randika lalu melihat arena sparingnya. Pada saat ini, klub taekwondo berada di posisi unggul. Anggota klub karate itu sudah di ujung tanduk, kemampuannya kalah jauh dengan lawannya.
"Bahkan ketua Felix tidak bisa apa-apa?"
"Ayo kak Felix! Kakak pasti bisa!"
"Habisi cecunguk itu!"
Kedua belah pihak saling menyemangati anggotanya. Ketua klub karate, Felix, bahkan turun tangan langsung sementara ketua klub taekwondo masih duduk dengan santai di pinggir. Lawannya Felix kali hanya merupakan anak semester 3, tetapi Felix tidak berdaya sama sekali.
Tiba-tiba anggota klub taekwondo itu menggunakan taktik menerjang untuk mengelabui Felix dan menendangnya tepat di dada. Dalam sekejap, Felix terkapar sambil memegangi dadanya.
"Makan itu!"
"Cepat habisi!"
Sorakan para anggota taekwondo semakin keras dan senyuman ketua klubnya semakin lebar. Baginya sparing ini bukanlah hanya menentukan siapa yang lebih kuat. Kalau video di mana klub taekwondo menang dengan mudah tersebar, maka popularitas klub miliknya akan meroket. Bisa dikatakan ini membunuh dua burung dengan satu batu.contemporary romance
Melihat ketua mereka terkapar kesakitan, hati para anggota klub karate mengepal dan bisu seribu bahasa. Bahkan ketua mereka sama sekali tidak berdaya?
"Ternyata mereka begitu kuat." Kata salah satu anggota klub karate. Mereka seharusnya tidak melawan klub taekwondo.
"Kak, sekarang adalah waktumu bersinar!" Kata Hannah di telinga Randika.
Pada saat ini, semua anggota taekwondo sudah besar kepala. "Ternyata klub karate cuma segitu saja kemampuannya, tidak ada apa-apanya dengan kita!"
"...…." Meskipun kesal, para anggota klub karate tidak bisa membantahnya. Lalu salah satu anggota klub taekwondo maju dan berteriak. "Jadi apakah kalian mengerti mengapa klub kami adalah kebanggaan dari sekolah ini?"
Para anggota klub karate sudah membantu ketua mereka berdiri. Hannah yang melihat lawannya itu begitu arogan sudah mendorong-dorong Randika ke depan.
"Jangan sombong dulu!" Hannah berteriak dengan keras dan menjadi pusat perhatian.
"Kak, sekarang kesempatanmu!" Hannah berbisik di telinga Randika.
Didorong maju oleh Hannah, Randika hanya bisa menghela napas. Lawan Felix tadi melototi Randika dan bertanya dengan nada arogan. "Apa? Kau juga ingin menantangku?"
Wah, nantang Ares si Dewa perang?
"Sudah jangan banyak bacot, sini maju." Randika juga tidak kalah arogan.
"Baiklah." Pemuda itu menyengir. "Orang macam kau cuma butuh 1 menit!"
"Maju!"
"Kau pasti bisa!"
Meskipun tidak tahu siapa yang mewakili mereka itu, anggota klub karate tetap menyoraki Randika. Tetapi, kata-kata Randika berikutnya mengejutkan semua orang yang ada di ruangan itu.
"Bagaimana kalau aku memberikan keringanan pada klub kalian? Aku hanya akan menggunakan satu tangan dan akan menghabisimu dan temanmu berikutnya dalam 1 menit." Randika lalu meletakan tangan kirinya di belakang punggungnya.
Semua orang benar-benar dibuat linglung dengan Randika. Orang ini sombong sekali!
Lawannya ini justru marah mendengarnya, dia yang sudah berhasil mengalahkan ketua klub karate dianggap sampah oleh lawannya kali ini?
done.co