Chatper 506
Bab 506
“Kamu anaknya Arya, ya? Terus Seli anaknya siapa dong?”
Harvey bertanya dengan serius. Agatha tampak jengah saat Harvey menyebut nama Selena. “Kok tanya aku? Aku saja baru
tahu semuanya setelah ibu meninggal.”
Tentu saja sekarang bukan saatnya untuk menyelidiki asal–usul Selena, entah Arya adalah ayahnya atau bukan, Selena selalu
menganggap Arya sebagai orang yang
paling dekat dengannya.
“Kamu ‘kan sudah tahu dia itu ayahmu, kok kamu masih bersikap seperti ini sih ke
dia? Dari dulu, dia juga menderita.”
Agatha tampak sedih. “Mana aku tahu? Selama ini kami nggak pernah ketemu, aku baru tahu semuanya akhir–akhir ini. Waktu
aku dengar dia kritis, aku sudah berusaha mencarinya, tapi nggak ketemu. Selama ini aku cuma bisa lihat mukanya dari foto
lama, pastinya mukanya sudah sangat beda sekarang, makanya aku nggak bisa langsung mengenalinya. Harvey, aku juga
nggak mau begini kok! Aku sudah menyakiti ibuku, aku nggak akan menyakiti ayah kandungku juga.”
Harvey melihat keputusasaan di mata Agatha dan penyesalan yang tak terbendung di raut wajahnya, tetapi Harvey tidak luluh
sedikit pun. “Kamu yang menyuruh orang buat mengirim undangan pernikahan dan sekarang kamu sendiri juga yang
menyesal.”
“Terus kalau kamu? Emangnya kamu nggak ikut andil? Kamu jelas–jelas berjanji buat menikahi aku, tapi terus berhubungan
sama Selena. Sebenarnya aku ini dianggap apa? Apa kamu pernah benar–benar mencintaiku?”
Agatha tampak sangat kecewa, sementara Harvey bertanya balik dengan nada dingin, “Apa menurutmu aku pernah
menyukaimu?”
Kalimat ini jelas merupakan penghinaan untuk Agatha.
Harvey menyenderkan tubuhnya di kursi roda, kemudian mendekatkan diri ke telinga Agatha dan berkata dengan setengah
berbisik, “Agatha, aku sudah
mengingatkanmu sebelumnya. Demi Kavin, posisi Nyonya Irwin bisa saja menjadi
+15 BONUS
milikmu, tapi sebaiknya kamu harus tetap jaga jarak. Bagiku, kamu selamanya cumal mantan ipar. Aku nggak akan pernah
mencintaimu di hidup ini ataupun di kehidupan berikutnya! Perasaanku nggak akan berubah. Sepertinya kamu nggak
mau dengar, ya.”
Agatha langsung merasa bersalah setelah mendengar ucapan Harvey.
Dia sekali lagi melanggar batas Harvey, kali ini Harvey benar–benar tidak akan
memaafkannya.
“Harvey, dengar penjelasanku dulu, aku melakukan ini semua karena terlalu
mencintaimu, aku
Dia panik dan memegang tangan pria itu sambil berusaha menjelaskan, tetapi Harvey sudah merasa kecewa padanya.
“Agatha, setelah dengar pengakuanmu, kamu langsung kelihatan hina di mataku.
Hal ini nggak pantas, apalagi bagi Kavin yang sudah meninggal. Pokoknya
pernikahan ini batal, aku nggak sudi menikahimu.”
Harvey, kamu nggak boleh membuangku begini.”
“Jangan khawatir, demi anak–anak, aku nggak akan menyakitimu. Pengawal, cepat
antarkan Nyonya Agatha kembali ke Perumahan Kenali.”
Agatha hanya bisa menggeleng–gelengkan kepalanya. “Harvey, jangan begitu, aku
tahu aku salah. Aku bersumpah nggak akan lagi berbuat macam–macam pada
Selena. Tolong kasih aku kesempatan satu kali lagi, aku akan menjelaskan
semuanya ke media dan orang–orang. Kamu boleh menghukumku seperti apa pun,
asal jangan batalkan pertunangan kita!”
“Sudah terlambat, Agatha.”
Harvey bicara tanpa menatapnya lagi, dia sudah tidak peduli dengan Agatha. Harvey
pun pergi meninggalkannya begitu saja.
Perawat mengingatkan dengan suara pelan, “Maaf, ini rumah sakit. Tolong pelankan
suara Anda. Kalau terus berisik seperti ini, saya akan memanggil petugas keamanan.
Agatha menangis dengan hebat, air matanya mengalir deras. Bagaimana bisa
pernikahan yang seharusnya berjalan dengan baik, tiba–tiba menjadi kacau seperti
ini!
Padahal dia hanya ingin memberi Selena sedikit pelajaran
Agatha yang masih menangis, tiba–tiba berkata, “Saya mau ketemu Tuan Arya.”
“Maaf, Tuan Arya baru saja melewati masa kritisnya, belum boleh dijenguk untuk sementara waktu. Kalau Anda benar–benar
mau melihatnya, silakan lihat dari
jendela luar saja.”
Agatha menatap sosok yang terbaring di balik jendela. Orang itu penuh dengan
peralatan pembantu di sejukur tubuhnya. Air mata pun mengalir makin deras di pipi
Agataha. “Ayah, maafkan aku...”