Chatper 503
Bab 503
Melihat tangan Arya jatuh, Selena panik dan histeris, seketika dia kehilangan kesadarannya.
“Seli!”
Harvey segera membopong Selena, sementara Chandra menggendong Arya di punggungnya, mereka pun bergegas pergi ke
rumah sakit.
Agatha bingung melihat kejadian yang terlalu tiba–tiba ini, bagaimana bisa semuanya menjadi kacau begini?
Melihat Harvey membawa Selena pergi, dia berteriak dengan suara putus asa, “Harvey! Upacara pernikahan sebentar lagi
mulai!”
Dia sontak bangkit dengan tergesa–gesa, ingin menahan Harvey agar tidak pergi dari tempat itu. Namun, karena kakinya tidak
dapat digunakan, dia akhirnya terjatuh dengan keras ke lantai.
Gaun pengantinnya yang mahal itu tidak dapat menyembunyikan kekacauan yang ada di dalam dirinya, dan bahkan tidak
mampu menahan gosip dan desas–desus yang beredar.
Alana baru menyadari bahwa dia telah membuat masalah besar, dia segera membantu Agatha yang terduduk di lantai.
“Kak Agatha, kamu nggak apa–apa?”
Namun, niat baiknya itu justru disambut dengan tamparan keras dari Agatha. “Dasar wanita jalang! Kamu ini ngapain, sih? Apa
maumu?”
Kali ini, Alana merasa sangat bingung, dia menjelaskan dengan panik, “Kak Agatha, maaf, aku cuma ...”
Agatha meremas kerah baju Alana dengan sangat kuat, membuat renda di dada wanita itu menjadi kusut.
“Dengar, ya, kalau sampe aku gagal nikah hari ini, tamat riwayatmu!”
Alana terduduk di lantai, kakinya terkulai lemas. Dia berbicara dengan suara terdengar sangat lirih, Maaf, maaf, aku juga nggak
nyangka bakal jadi kayak gini.”
Di rumah sakit.
Arya dan Selena dibawa ke unit gawat darurat.
Diagnosis mengenai kondisi Selena keluar dengan cepat, sementara Arya dibawa kembali masuk ke dalam ruang operasi.
Hansen mencoba menenangkan Harvey. “Kamu jangan terlalu khawatir, kondisi istrimu nggak
1/3
*15 BONUS
mengkhawatirkan, dia cuma pingsan sebentar gara–gara syok. Kandungannya juga pasti baik–baik saja.”
Harvey mengusao–usap kepalanya, kerutan di dahinya terlihat semakin dalam, “Aku lebih khawatir sama Ayah, dia sama sekali
nggak boleh terguncang.”
Jika ada sesuatu yang terjadi pada Arya, itu pasti akan sangat mempengaruhi kondisi Selena.
Pada saat itu, seorang dokter keluar dari ruang operasi, Harvey segera mendekatinya.
“Dokter, gimana keadaannya?”
“Nggak terlalu bagus. Pasien sudah pernah operasi otak sebelumnya, tapi waktu belum sembuh, sudah
kena masalah lagi. Kami sudah usahakan yang terbaik, tapi semangat hidup pasien sangat lemah. Pilihan kita sekarang cuma
dua, berhentiin perawatan atau mindahin ke ICU, sisanya takdir yang tentukan.”
Sementara itu, Selena masih belum sadarkan diri, sehingga Harvey terpaksa mengambil keputusan untuknya. Meskipun sadar
bahwa memindahkan Arya ke ICU dapat memperburuk kondisinya, tetapi dia tidak memiliki alternatif lain.
“Pindahin ke ICU. Apa pun yang terjadi, kita harus selamatin nyawanya.”
“Baiklah.”
Selena terperangkap dalam kegelapan yang panjang. Dia mencari–cari sesuatu di tengah kegelapan yang tak berujung itu.
Bahkan, dia sendiri tidak tahu apa yang sedang dicarinya, tetapi muncul firasat di hatinya bahwa dia akan segera kehilangan
seseorang yang sangat penting baginya.
Dia mencari begitu lama, tetapi tidak menemukan apa pun, dan akhirnya dia duduk di tanah sambil menangis.
Ketika menundukkan kepalanya, dia baru menyadari bahwa tubuhnya berubah menjadi seperti dirinya waktu masih kecil,
dengan tangan dan kakinya yang terlihat mungil.
Tiba–tiba, sebuah tangan menyentuh kepalanya.
Kegelapan di sekitarnya mulai memudar, dan suara yang lembut dan akrab terdengar, “Nak, jangan nangis.”
Pikirannya tiba–tiba tercerahkan, dia menyadari bahwa orang yang dicarinya adalah Arya!
Selena mendongak dan melihat pria di sampingnya. Wajahnya terlihat sama persis seperti 10 tahun yang lalu, tanpa tanda–
tanda penyakit atau kelelahan, dan penampilannya sangat baik.
Arya tersenyum lembut, seperti biasanya,
“Ayah!”
+15 BONUS
“Nak, maaf, selama ini aku sudah bikin kamu kecewa, aku nggak bisa jagain kamu.”
“Nggak gitu, Ayah udah lindungin aku selama ini. Gimana kalau sekarang gantian aku yang jagain Ayah?”
Arya menatap langit, senyum di bibirnya tidak berubah sedikit pun. “Nak, aku sudah sangat lelah, aku
nggak bisa bertahan lagi.”