Chapter 478
Bab 478
+15 BONUS
Meskipun berhasil mempertahankan sang anak, Harvey tetap merenggut satu- satunya cahaya dalam hidup Selena.
Kini, Harvey mengetahui bayi dalam kandungan Selena adalah anaknya. Mulai
sekarang, pria itu tak akan melepaskannya begitu saja.
Hanya saja, Selena sudah muak dengan permainan ini.
Selena merasa seperti terperangkap dalam jaring raksasa, tak bisa melarikan diri
meski sudah berusaha sekuat tenaga.
Dia tidak tahu caranya membalas dendam, pun tak bisa melihat harapan apa–apa.
Dia tidak bisa berbuat banyak saat sedang hamil seperti sekarang. Dia hanya bisa
mengelus perutnya berulang kali seraya berdoa dalam hati agar Tuhan
mengizinkannya untuk melahirkan dengan selamat.
Arya menyadari kesedihannya. Kondisi kaki Arya sudah jauh lebih baik, jadi dia
dapat berjalan di sekitar rumah tanpa perlu dibantu.
Ini sudah masuk musim kemarau, cuaca pun makin terasa panas. Selena tertidur di
kursi malas yang ada di bawah naungan pohon.
Ketika terbangun, dia menemukan selimut tipis yang sudah membalut tubuhnya.
Sementara itu, Arya memegang kipas sembari mengusir nyamuk di sekitar,
melakukan kebiasaannya ketika Selena masih kecil dulu.
Meski ditinggalkan sang ibu, Arya selalu mencurahkan seluruh kasih sayangnya
pada Selena.
Masa kecilnya tak terlalu menyedihkan karena kepergian sang ibu. Sebaliknya, berkat kasih sayang Arya, Selenatumbuh
menjadi anak yang percaya diri dan
berprestasi.
Kala itu, Selena memancarkan aura kepercayaan diri sehangat mentari. Arya sudah merasakan perubahannya sejak lama.
Sejak Arya terbangun, Selena jadi jarang tersenyum dan tak pernah menyebut nama
+15 BONUS
Harvey di depannya.
Terkadang, ada kilau lembut yang terpancar di wajahnya. Tidak seperti sekarang, karena sebagian besar waktunya hanya
dihabiskan dengan melamun selain makan
dan tidur.
Meski berusaha untuk menyembunyikan kesedihannya dengan berpura–pura
bahagia, bagaimana mungkin Arya tidak bisa membaca isi hati dari putri yang dia
besarkan sendiri?
Semua perubahan Selena disebabkan oleh Harvey. Entah apa yang telah dilakukan Harvey, hubungan keduanya memburuk
setelah pria itu memulangkan Selena.
Arya lihat dengan mata kepalanya sendiri dan merasa sakit hati. Kala itu, dia
menghabiskan waktunya untuk menemani Selena.
Saat membuka mata, Selena langsung melihat Arya yang sedang mengipasinya
dengan pelan, membuatnya kebingungan. “Ayah.”
“Sudah bangun? Haus nggak? Tehnya sudah siap.”
Selena tersipu seraya menjawab, “Ayah, aku bukan anak kecil lagi.”
Arya tersenyum lembut, mengulurkan tangan, lalu mengusap rambut Selena. “Kamu
akan selalu jadi anak kecil untuk Ayah. Kamu masih punya Ayah, hm.”
“Hm, aku tahu.”
“Selena, Ayah tahu kamu sedang sedih sekarang. Ayo pergi dari sini.‘
Selena tersentak. “Ayah, tinggal di sini cukup bikin senang, ‘kan?” tanya Selena.
“Ya, tapi kamu nggak bahagia, Nak. Ayah sudah lama nggak melihat senyum
tulusmu. Ayah nggak tahu apa yang terjadi di antara kamu dan Harvey. Tapi, kalau
kamu begini karena dia, Ayah akan membawamu pergi darinya.”
Arya mengusap kepala Selena. “Meski Ayah bangkrut dan nggak bisa memberimu
kehidupan mewah seperti dulu, Ayah masih bisa kerja untuk menghidupimu. Masih
ingat kata–kata ayah dulu? Yang terpenting dalam hidup ini adalah menjadi bahagia.
Selebihnya nggak begitu berarti. Ayah ingin melihatmu tersenyum bahagia. Bukan
seperti sekarang, murung sepanjang hari.”
2/3
+15 BONUS
“Ayah juga pernah mengalami hal yang sama. Saat ada masalah dalam suatu
hubungan, perlu waktu untuk memperbaikinya pelan–pelan. Kamu masih muda,
masa depanmu masih panjang. Beri ruang untuk dirimu dan Harvey,” terang Arya dengan suara yang terdengar amat tulus.
Selena menggigit bibirnya, lalu menggeleng pelan. “Ayah, kita nggak bisa pergi
untuk sekarang. Kita nggak bisa pergi ke mana–mana.”
Arya segera mengambil sikap, “Kenapa? Apa kamu pikir Ayah sudah nggak mampu menghidupimu karena sudah tua? Ayah...”
“Bukan, ini nggak ada hubungannya sama Ayah.”
Selena menunduk, menyentuh perutnya seraya berbisik pelan, “Ayah, aku hamil.”