Chapter 477
Bab 477
Harvey sudah pergi, sementara Selena menjadi sangat murung.
Lian menyadari binar mata Selena yang meredup. Wanita itu duduk diam di depan jendela. Meskipun semburat merah dan
bengkak di wajahnya sudah memudar, wajahnya begitu pucat seperti tidak dialiri darah sama sekali.
Selena menatap hujan di luar dengan pandangan kosong.
“Selena, kamu pasti lapar, ‘kan? Koki sudah memasakkan sesuatu. Tadi kamu mau makan mi saus kacang goreng, ya? Coba
cicipi, apa rasanya sudah sesuai dengan seleramu?”
“Taruh saja, aku nggak lapar.”
“Kamu harus makan sedikit walau nggak lapar, demi anak–anak.”
Hanya anak–anak yang bisa mengendalikan Selena. Melihat jarinya yang sedikit bergerak, Lian dengan sigap menyerahkan alat
makan ke tangan Selena.
“Makanlah selagi panas. Aku sudah cicipi tadi, rasanya lumayan enak.”
Lian menjulurkan lidahnya, lalu berkata sungkan, “Maaf, ini permintaan Tuan Harvey. Mulai sekarang, apa pun yang akan kamu
makan harus diperiksa dulu. Harus ada yang mencicipinya.”
Awalnya, Lian ingin memuji Harvey. Namun, ketika mengingat kejadian belum lama
ini, dia mengurungkan niatnya tersebut.
Kerap kali dirinya ingin bertanya, tetapi mengingat statusnya di sini, dia pun
memilih tutup mulut.
Di ruangan, hanya terdengar suara pelan Selena yang sedang mengunyah mi
tersebut, bahkan nyaris tak terdengar saking pelannya. Hanya sesekali terdengar
suara renyah saat Selena mengunyah sayuran.
Selena memang makan, tetapi Lian bisa merasakan sirat kesedihan yang tak terlukiskan dari dalam matanya.
14
+15 BONUS
Seakan–akan dia hanya bertahan hidup demi anak–anak dan Arya, bukan untuk
dirinya sendiri.
Beberapa kali Selena merasa mual saat makan, tetapi dia tahan rasa mualnya dan
terus menyuap.
Bergerak bagai robot, Selena terus memasukkan makanan ke mulutnya.
“Jangan dimakan lagi.” Lian merebut alat makan di tangannya. “Akan kuminta
seseorang untuk menggantinya dengan yang lain. Bukan berarti karena Grup Irwin
bangkrut, kamu jadi nggak bisa makan apa pun yang kamu mau.”
Selena tersenyum tipis. “Nggak masalah mau makan apa aja, yang penting perutku
terisi,” ujarnya.
“Selena, tolong jangan begini. Aku sedih melihatmu seperti ini. Gimana kalau kita
bersenang–senang seperti dulu?”
“Bersenang–senang?”
Selena mengulas senyum getir. “Orang sepertiku ini nggak berhak untuk bersenang-
senang.”
Setelah itu, dia meletakkan alat makan dan menyeka mulutnya. “Aku agak lelah
habis makan. Jadi, aku istirahat dulu.”
“Selena, tolong jangan seperti ini, oke?” bujuk Lian lembut seraya maju dan
menghalangi langkahnya. “Aku memang nggak tahu ada apa yang terjadi di antara
kamu dan Tuan Harvey. Tapi, kalau ada masalah, kamu bisa cerita padaku. Aku akan
membantumu.”
Selena masih tersenyum tipis setelah mendengar ini. “Terima kasih atas
kebaikanmu, tapi aku pun nggak bisa membantu diri sendiri, apalagi orang lain.
Bilang padanya, aku akan melahirkan anak ini. Bukan untuknya, tapi untuk anak-
anak sendiri.”
“Anak, anak, terus. Bisa nggak kamu memikirkan dirimu sendiri? Apa kamu nggak
punya harapan selain anak?”
Sorot mata Selena kembali beralih pada hujan deras di luar. Bak patung lilin,
2
wajahnya tak menunjukkan ekspresi apa pun.
“Nggak ada. Aku hanya hidup untuk anak–anak dan ayahku.”
“Tuan Harvey sangat mencintaimu, apa kamu nggak mencintainya sama sekali?”
“Cinta?”
Bagi Selena, itu sudah menjadi masa lalu.
“Pernah,” balas Selena singkat.
“Lalu, bagaimana dengan sekarang?”
“Aku sudah nggak berani lagi, terlalu menyakitkan.”
Setelah itu, Selena berjalan menuju kamarnya dengan langkah pelan dan tangan terkulai. Tampak sangat menyedihkan.
Lian membuka mulut, tetapi tak mengatakan apa–apa.
Kalau soal cinta, dia yang bodoh ini tidak akan pernah bisa paham,