Chapter 39: Apa Perlu Aku Memakai Kedua Tanganku?
Kevin segera menuju ke kamar mandi dengan berwajah muram. Dia segera menelepon seseorang sesampainya di sana. Tidak butuh waktu lama untuknya terhubung. Suara di balik teleponnya sangat bising.
"Siapa? Aku sedang main poker tahu! Ganggu saja!"
"Aku punya kerjaan buatmu, mau tidak?" Hati Kevin masih penuh dengan kebencian terhadap Randika.
"Kerjaan apa?"
"Menghajar orang."
"Bah, aku tidak punya waktu untuk itu. Sudah jangan telepon lagi, aku masih bermain"
Kevin langsung mengerti bahwa dia harus memasang harga terlebih dahulu.
"Sepuluh juta."
"Aku sudah bilang, aku tidak punya waktu."
"Dua puluh."
"Hmmm baiklah, besok akan kami urus orang itu."
"Tiga puluh dan kau harus menghajarnya sekarang!" Kevin benar-benar ingin melihat Randika yang bonyok di depan Viona.
"Lima puluh dan aku berangkat sekarang."
Bajingan tidak tahu diri, masih sempat untuk menawar?
Kevin tidak punya pilihan selain menggertakkan giginya. Walaupun dia kaya, perasaan diperas seperti ini tidaklah menyenangkan.
"Baiklah, cepat bawa orang-orangmu ke sini. Aku di tempat bar kapan hari."
Setelah menutup teleponnya, Kevin menghela napas.contemporary romance
Kembali ke tempat duduknya, dia melihat Randika dan Viona yang asyik mengobrol dengan mesra selagi dirinya tidak ada.
"Maaf aku agak lama." Kevin duduk kembali. Randika menatapnya dan melihat wajah pria itu sudah tenang kembali. Dia tersenyum di dalam hatinya.
"Akhirnya kau kembali, ini minumlah yang baru kupesan. Rasanya sepadan dengan harganya!" Randika kembali menyodorkan minumannya.
Kevin ragu ketika diberi minuman tersebut, dia tidak tahu apa isi dari minuman tersebut.
"Maaf, perutku sedang tidak enak. Aku berhenti dulu minumnya." Kevin membuat alasan masuk akal agar tidak meminumnya.
"Sayang sekali." Randika menggelengkan kepalanya. Dia lalu menoleh ke Viona dan mengatakan, "Viona sudah waktunya untuk kita pulang."
"Ah, jangan pergi dulu! Temani aku sebentar." Kevin langsung mencegat mereka. Kalau mereka pulang, buat apa dia membayar 50 juta?
Randika dan Viona saling bertatapan, tapi Randika mengetahui bahwa Kevin ingin mencegahnya pulang. Tatapan mata Kevin mengindikasikan bahwa dia memiliki rencana.
"Baiklah, kita akan menemanimu sebentar. Tidak baik juga tiba-tiba meninggalkanmu ketika kau baru balik." Randika sebenarnya penasaran, rencana licik apalagi yang dipersiapkan olehnya.
Kevin mulai was-was, apakah pria itu mengetahui rencananya? Dia hanya bisa berharap bahwa Randika tidak mengetahuinya. Lagipula, setelah para preman itu datang maka dirinya lah pemenang sesungguhnya.
"Omong-omong, bagaimana pria ini bisa meluluhkan hatimu Viona? Coba ceritakan kisah kalian." Kevin segera mengganti topik dan berusaha mengulur waktu.
Viona mulai bercerita ketika dirinya yang memancing di taman dan Randika menyelamatkan dirinya. Ketika dia bercerita, terdengar suara gaduh dari luar. Akhirnya semua tatapan mata di bar menuju suara itu berasal. Ternyata itu adalah segumbulan orang yang membawa tongkat logam di tangan mereka.
Muka Kevin tidak bisa berhenti tersenyum dan tidak sabar melihat muka bonyok Randika.
"Lho kok kamu tersenyum ke arahku? Maaf aku tidak homo karena aku punya Viona." Kata Randika dengan santai.
"Hahaha kita lihat apakah sebentar lagi kau bisa bacot seperti sekarang. Kau telah mencuri Viona dariku dan sekarang kau akan menerima ganjarannya!" Kata Kevin dengan suara dingin. Viona terkejut dengan perkataan Kevin, jadi orang-orang itu adalah suruhannya?
"Tunggulah aku di sini." Bisik Randika pada Viona. Randika lalu berdiri dan berbicara di depan wajah Kevin. "Ternyata kau bukan hanya modal tampang saja ya, pintar juga kau memanggil orang ke sini."
"Tentu saja, aku tidak mau mengotori tanganku dengan darah hinamu itu." Penampilan tenang Kevin benar-benar hilang dan sekarang dia terlihat jahat dan licik.
"Kau salah akan satu hal." Randika menghela napas. "Yang hina itu yang menaruh obat di minuman orang."
"Kau!" Kevin benar-benar marah. "Aku akan menghajarmu sendiri!"
"Ayo kita keluar, jangan membuat keributan di sini."
Randika lalu berjalan keluar sambil diikuti Kevin dan teman-temannya.
Ketika mereka semua keluar, orang-orang di jalan langsung menyingkir karena penampilan menakutkan dari para preman itu. Mereka segera mengepung Randika dan bermain-main dengan tongkat logam mereka, menghasilkan kegaduhan.
"Hmmm? Kalian ingin kuhajar juga?" Randika berkata dengan nada datar pada para preman itu.
Salah satu dari mereka maju dan mengatakan. "Jadi kau adalah mangsa kami?" Dia adalah yang ditelepon oleh Kevin sebelumnya. Orang yang bernama Rio ini sudah melakukan pekerjaan kotor Kevin berkali-kali.
"Hajar dia sampai mati dan akan kuberikan 50 juta itu setelahnya."
Ketika para preman ini mendengar nominalnya, mereka segera bersorak dan darah mereka mendidih. Rio juga tidak kalah bersemangatnya, dia menunjuk Randika dengan tongkatnya. "Akan kuberi kau pilihan, mati secara cepat atau mati perlahan?"
"Perlahan saja." Kata Randika dengan santai.
"Oke, akan kukabulkan." Setelah itu, Rio memberi sinyal pada bawahannya dan mereka menyerbu Randika.
"Tunggu! Apakah aku perlu memakai kedua tanganku?" Randika pura-pura takut.
Ketika mendengarnya, Rio dan semuanya terkejut lalu tertawa. "Sebentar lagi tanganmu itu tidak bisa bergerak!"
"Baiklah kalau begitu, aku tidak perlu menahan diri." Kata Randika.
Seketika itu juga, Randika menerjang maju. Para preman yang masih sibuk tertawa tidak bisa bereaksi terhadap kecepatannya.
Duak!
Salah satu dari mereka telah melayang dan menabrak temannya yang lain. Dari arah belakangnya, sebuah tongkat sudah mengarah padanya. Randika tidak menghindari melainkan memuku perut orang tersebut yang terbuka dan membantingnya hingga pingsan.
Mengambil tongkat yang jatuh, dia melemparnya dan mengenai salah satu kepala hingga akhirnya berdarah-darah.
Salah satu dari mereka lalu meraung dan menerjang maju, Randika hanya menendangnya dan dia pun tergeletak di tanah.
Sekarang, semua preman itu menerjang Randika dan Randika hanya perlu 2 menit membereskan mereka semua.
Dari awal hingga akhir, Rio hanya berdiri di samping Kevin. Sekarang dia tidak bisa berhenti gemetar, begitu pula si Kevin yang wajahnya bertambah pucat tiap detiknya.
Apa yang terjadi?
Pria itu ternyata jago berkelahi? Memangnya dia mantan pasukan khusus kok bisa-bisanya menghajar suruhannya semua? Bahkan pasukan khusus pun pasti akan kewalahan.
Melihat Randika yang berjalan mendekati dirinya, Rio berteriak dengan suara serak. "Mau apa kau ke sini?"
Randika tidak menjawab dan terus berjalan ke arahnya.
"Tidak! Jangan bunuh aku!" Rio pun lari terbirit-birit dan tersandung setelah beberapa langkah. Pejalan kaki yang melihatnya langsung tertawa.
Jleb!
Saat dia hendak berdiri, sebuah tongkat telah menancap di antara pahanya.
"Bukannya kau berniat membunuhku?" Randika sudah berada di depannya dan Rio tidak bisa berhenti ketakutan. Meskipun dia membawa senjatanya sendiri, dia tidak punya tenaga untuk melakukannya.
Bahkan, dia mulai mengompol dan menangis. Randika lalu mengambil tongkat yang menancap itu dan mengarahkannya kepada Rio, "Kuberi 3 detik buat kalian lari dari sini. Kalau tidak mayat kalian akan mengapung di sungai."
Rio yang mendengar hal itu langsung kabur tanpa mempedulikan apa-apa.
Para bawahannya juga lari semburat. Sedangkan yang pingsan telah digendong oleh teman mereka.
Mereka takut dengan pria mirip iblis ini.
Randika lalu merasa puas bahwa satu masalah telah selesai. Dia lalu menoleh ke arah Kevin yang masih berdiri beku di samping.
Kevin masih tidak dapat percaya dengan kejadian yang di depannya, saat dia menyadari tatapan Randika, dia langsung bergetar tanpa henti. Ketika Randika menghampirinya, dia mengambil langkah mundur tetapi tersandung dan jatuh.
Semua orang yang di bar tertawa. Muka Kevin yang pucat menjadi merah ketika mendengar ejekan tawa itu. Hari ini dia benar-benar kalah. Yang lebih penting, kesempatannya untuk mendapatkan Viona sudah benar-benar hilang dan dia sudah tidak memiliki wajah untuk kembali ke bar ini.
Ketika Randika sudah berdiri di hadapan Kevin, raut wajahnya yang sombong tadi itu benar-benar menjadi putih.
"Tidak sepertimu, aku tidak perlu memanggil orang untuk mengatasi masalahku." Randika lalu mengangkat Kevin dengan satu tangannya. "Pergi dan jangan pernah tunjukan batang hidungmu lagi!"
Randika lalu melempar Kevin hingga terjatuh dan berbalik menuju bar.
Setelah itu, dia menjemput Viona dan memeluk pinggangnya lalu berjalan pergi dari bar itu.
done.co