Chapter 35: Ares yang Bersembunyi Bukan Berarti Dia Tidak Berdaya
Seketika itu juga, Rohim dan kedua polisi lainnya segera mengelilingi Randika. Randika hanya berdiri diam, sedangkan Deviana sudah telat untuk memperingati para rekannya.
Kedua polisi itu, satu dari kanan satu dari kiri, menerjang ke arah Randika. Tapi mereka hanya bertemu dengan udara kosong. Randika tiba-tiba muncul di belakang salah satu dari mereka dan telah mengambil borgol miliknya.
Dia lalu memborgol salah satu tangan dari polisi tersebut. Randika lalu mencengkram tangan tersebut kuat-kuat.
Melihat hal itu, polisi satunya, yang masih bisa bergerak bebas, menerjang kembali ke arah Randika. Seketika itu juga, Randika dan polisi yang terborgol itu berputar sekali bagaikan mereka sedang menari. Randika lalu memborgol tangan polisi satunya yang masih bebas tersebut.
Dalam sekejap, kedua polisi itu saling terborgol satu sama lain. Salah satu dari mereka tidak bisa bergerak dengan bebas karena tangannya berada di belakang punggungnya.
Lalu mereka didorong oleh Randika dan terjatuh bersama, Randika lalu berkata dengan tersenyum. "Dengan semua latihan yang kalian terima, apakah susah menangkap orang yang kalian sebut sampah masyarakat ini?"
"Kau!" Deviana marah ketika mendengarnya. Namun, dia masih memiliki pemikiran yang tenang, dia segera mengambil kunci untuk melepaskan kedua rekannya itu.
Di lain sisi, Rohim sudah tidak bisa menahan amarahnya. Dia menatap tajam ke Randika sambil mengatakan, "Melawan dan menyakiti polisi, kau dalam masalah besar bocah!"
"Aku tidak mempunyai pembelaan apa-apa untukmu yang memiliki mata mesum itu." Kata Randika sambil menggelengkan kepalanya.
"Kau tahu bahwa aku hanya berjarak satu nomor saja dan seluruh kepolisian kota ini akan memburumu?" Balasnya.
Randika tidak peduli dan berkata dengan nada tenang, "Aku tidak peduli, karena aku tidak bersalah. Tapi jika kau ingin menuduhku sebagai teroris, maka akan kutunjukkan bagaimana teroris sebenarnya bertindak."
Begitu Randika selesai berbicara, dia mengeluarkan sesuatu yang berhasil membuat semua orang di sana ketakutan sekaligus terkejut. Randika mengeluarkan sebuah pistol yang telah diambilnya sebelumnya dari kedua polisi sebelumnya, wajahnya masih terlihat tenang sambil membidiknya ke arah Rohim.
Deviana dan kedua polisi lainnya merasa bahwa situasi menjadi gawat. Tetapi, Randika tiba-tiba melemparkan pistol tersebut ke tanah sambil mengatakan, "Lain kali jangan menuduh sembarangan dan merepotkan orang lain. Jika kalian menangkap, pastikan membawa surat penangkapan ataupun bukti yang kuat."
Setelah mengatakan semua itu, Randika sudah malas untuk berurusan dengan mereka lagi. Ketika dia hendak menggendong Elva lagi, Rohim merasa dirinya terhina dan mengeluarkan pistol miliknya dan membidik punggung Randika!
"Kau akan ikut dengan kami!" Kata Rohim dengan muka serius.
"Pak Rohim!" Deviana terkejut. Meskipun dia membenci Randika, Randika tidak terbukti bersalah. Tetapi sekarang salah satu rekannya membidik orang awam, ini tidak mencerminkan perilaku dari penegak hukum.
"Pak Rohim tolong letakkan pistol bapak! Kita tidak berkerja dengan cara seperti ini!" Teriak Deviana.
"Kau diam saja dan tidak perlu khawatir!" Rohim sudah tidak punya kesabaran. Selama dia bekerja puluhan tahun, dia belum merasa terhina seperti sekarang. Dia ingin memberi pelajaran kepada Randika bahwa martabat polisi bukanlah sebuah permainan.
Muka Randika terlihat malas. Dia sudah tidak ingin mencari gara-gara tetapi pihak lain ingin meneruskan masalah ini. Apakah mereka belum pernah menyaksikan amarah seorang dewa?
Randika perlahan membalikkan badannya dan berkata dengan pelan, "Kalau aku tidak mau?"
"Tidak mau?" Rohim tertawa. "Aku memerintahkanmu untuk ikut kita sekarang! Jangan anggap remeh kami para penegak hukum!" Rohim terus membidik Randika dengan pistolnya. "Lagipula, kau lari pun tidak akan lebih cepat daripada peluruku ini."
Randika tertawa mendengarnya. Anjing tetaplah anjing, mereka hanya bisa menggonggong.
Ares telah ditantang!
"Kau yakin dengan perkataanmu?" Randika menatapnya dengan remeh. "Kau yakin bisa menakutiku hanya dengan sebuah pistol? Jangan pernah lupa bahwa anjing hanya bisa menggonggong."
Rohim merasa firasat buruk tetapi pistol di tangannya membuat dirinya tidak cemas terhadap apa pun.
Deviana dan kedua polisi lainnya sudah merasa ketakutan. Mengapa situasinya berkembang seperti ini?
Randika menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu tembak saja, kita lihat seberapa cepat pelurumu itu!"
"Pak Rohim jangan!" Teriak Deviana.
Rohim merasa muak dengan muka meremehkan Randika. Dia merasa ingin membunuh bajingan tengik ini.
"Kenapa? Tidak punya keberanian untuk menembaknya kah?" Kata Randika sambil menyeringai. "Memang benar kalau anjing menggonggong dia hanya sok kuat tetapi aslinya dia ketakutan."
"Mati kau!" Rohim sudah tidak kuat lagi. Dia akan membunuh pria ini!
Tetapi, sebelum suara pelatuk terdengar, dia merasa hembusan angin kuat dan detik berikutnya dia menarik pelatuknya dan menembak.
Klik!
Deviana terkejut tetapi Rohim lebih terkejut lagi terhadap kejadian yang menimpanya.
Tidak ada peluru yang keluar!
"Mencari pelurumu?" Randika memecah keheningan dan seketika itu juga dia menjatuhkan peluru yang ada di tangannya.
Rohim benar-benar terkejut dan tidak sempat menoleh ke arah Randika. Bagaimana bisa pistolnya tidak ada peluru? Dia jelas-jelas ingat bahwa pistolnya ada isinya.
Deviana dan kedua polisi lainnya terkejut ketika melihat peluru yang dijatuhkan oleh Randika. Mereka kebingungan, bagaimana bisa orang mengeluarkan peluru dari pistol dalam sekejap? Yang mengejutkannya lagi adalah pistolnya masih dipegang oleh Pak Rohim.
Detik berikutnya, Randika sudah berada di depan Rohim yang kebingungan dan mengangkat orang tersebut dengan tangannya.
Deviana dan kedua polisi lainnya masih belum bertindak. Randika membuka paksa mulut Rohim dengan tangan kirinya dan tangan kanannya memegang sebuah peluru dan hendak menyuruhnya menelannya!
Ketika dewa perang dunia bawah tanah ini marah, seribu mayat pun tidak akan berhasil menghilangkan amarahnya!
Kata-kata itu tidak dilebih-lebihkan. Ketika dia di luar negeri, ketika orang mendengar nama Ares maka orang-orang akan menghindari dirinya.
Tetapi sekarang, di Indonesia tempat kelahirannya, nama Ares tidak ditakuti bahkan ada yang berani menantangnya!
Bukan berarti Ares yang sedang bersembunyi adalah Ares yang tidak berdaya, dia hanya sedang melindungi dirinya dengan tidak berbuat apa-apa.
Deviana dan kedua polisi lainnya menatap tajam Randika. Randika telah memasukkan peluru itu ke dalam mulut rekan mereka dan memaksanya untuk menelannya dengan menutup jalur udaranya!
Benar, Rohim dipaksa untuk menelan sebuah peluru!
Kedua polisi itu benar-benar ketakutan dan kaki mereka gemetar. Melihat wajah marah Randika, mereka berdua semakin merinding. Apakah dia masih manusia?
Deviana langsung berteriak kepada Randika. "Randika hentikan! Dia bisa mati!"
Randika tidak berhenti. Jika dia sebelumnya tidak diberi kesempatan maka dia tidak akan memberikan kesempatan untuk lawannya. Jika dia tidak menghormatiku, jangan harap dapat penghormatan dariku. Apalagi, pria ini hendak membunuhnya tadi.
Rohim menatap mata Randika dan terus meronta-ronta. Dia benar-benar ketakutan sekarang. Ketika dia berusaha mati-matian menutup mulutnya, Randika mencekik lehernya dan dia terpaksa membuka mulutnya. Sekarang jalur pernapasannya ditutup dan dia dipaksa menelannya.
Sekarang, dia sudah menelan 2 buah peluru dan dia merasa tidak bisa bernapas dengan benar. Melihat pada tangan Randika, masih ada sekitar 5 peluru lagi. Rasa putus asa dan tidak berdaya terpampang jelas di mukanya!
Bisa-bisanya situasinya menjadi seperti ini….
Pria di hadapannya ini benar-benar setan. Rohim sudah meneteskan air mata sambil minta ampun tapi muka Randika tidak berubah sedikit pun. Rohim segera menoleh ke arah rekan-rekannya dan meminta tolong sambil menangis.
Jika dia menelan peluru itu sekali lagi ataupun peluru yang sudah ditelannya tidak segera dikeluarkan maka dia akan mati!
Deviana benar-benar cemas dengan situasi ini, dia segera menghampiri Randika untuk menghentikan semua ini.contemporary romance
done.co