Chapter 14: Viona
Para penonton masih terpukau dengan teknik memancing Randika yang sangat mendewa tersebut. Randika pun meninggalkan mereka dengan wajah yang terlihat puas.
Sedangkan Viona, gadis ini merasa hatinya berdebar-debar terus menerus dan wajahnya terus tersipu malu. Senyuman puas Randika dan hangatnya pelukannya masih melekat erat di dalam benaknya.
Menggigit bibirnya, dia memutuskan untuk mengejar pria tersebut.
Ketika Randika pergi meninggalkan area memancing dia sedikit merasa kecewa. Tindakannya tadi sudah keren dan dia langsung pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun kepada gadis itu. Kenapa gadis itu belum mengejarnya? Apakah pesonanya masih kurang? Kalau benar gadis itu tidak mengejarnya, apakah terlihat aneh kalau dirinya kembali dan meminta nomor handphonenya?
Perempuan secantik itu jarang dia lihat terutama dengan dadanya yang besar itu. Akhirnya dia memutuskan apabila gadis itu tidak mengejarnya, dia akan kembali dan menanyakan nomor handphonenya. Persetan dengan gengsi!
Pada saat itu juga, terdengar teriakan dari belakang punggungnya, "Tunggu!"
Yes! Tampaknya pesona milikku tidak pudar!
Memasang wajah sok serius, Randika berputar dan melihat Viona yang berusaha menghampirinya.
Viona tampak sedang berlari mengejar Randika. Dadanya yang besar itu bergerak ke atas dan ke bawah secara konstan dan membuat Randika menelan air liurnya. Tidak ada satu detik pun tatapan matanya berubah arah.
Mungkin punya istrinya tidak kalah besar tetapi dia merasa punya gadis ini lebih besar dan indah.
"Aku belum berterima kasih atas kebaikanmu tadi… Namaku Viona, senang bertemu denganmu." Dengan napas terengah-engah, Viona segera berterima kasih kepada Randika. Wajahnya pun kembali tersipu malu ketika melihat sosok pria ini.
"Namaku Randika." Randika lalu mengambil sapu tangannya dan mengusap keringat yang ada di wajah Viona.
Ya tuhan lembut sekali kulitnya! Belum lagi pipinya yang begitu empuk dan bibirnya yang mungil ini, dia ingin mencicipinya.
Wajah Viona semakin merah karena tindakan Randika yang jentelmen.
Setelah selesai mengusap keringatnya, Randika menggenggam tangan Viona dan berkata dengan muka datar, "Tidak apa-apa, aku hanya tidak suka ketika orang mempermalukan seorang gadis di depan umum."
Viona yang tersipu malu membalas, "Aku tetap ingin mengucapkan terima kasih atas tindakanmu. Belum pernah ada orang yang membelaku sebelumnya."
Setelah itu Viona menarik Randika agar lebih dekat dengannya dan berbisik, "Hei, kasih aku nomormu dan kita bisa bertukar kabar setiap harinya."
Randika langsung tersenyum, si Viona ini ternyata agresif juga dan dia tidak perlu repot-repot meminta nomornya.
Setelah Viona memberikan nomor handphonenya dia mengatakan, "Kalau kau senggang dan bosan, kau bisa memanggilku kapan saja!"
Setelah mengatakan hal tersebut, wajah Viona menjadi sangat merah. Bisa-bisanya dia mengatakan hal ambigu seperti itu. Randika juga tertegun ketika mendengarnya. Bukankah ini seperti mengatakan bahwa datanglah ke rumahku kapan saja, aku siap bermain denganmu kapan saja!
Viona merasa kata-katanya benar-benar ambigu. Dia ingin membenarkan tetapi akhirnya dia memutuskan untuk berlari pergi.
Randika yang melihat sosok Viona yang pergi merasa bahwa sifat seperti Viona ini cukup menyenangkan. Gadis polos yang bingung antara cinta dan nafsu sangatlah menggemaskan. Hal ini sangat berbeda dengan istrinya Inggrid.
Setelah dia melarikan diri dari Randika dengan hati yang berdebar-debar, Viona tersadar bahwa dia hanya memberikan nomor miliknya dan tidak meminta nomor milik Randika. Kalau begini jadinya, dia takut bahwa pria tersebut tidak akan menghubunginya dan lupa terhadap dirinya.
Dia lalu berpikir dalam hatinya, Apakah pria itu akan melupakan aku?
Sesaat setelah dia berpikir seperti itu, handphonenya bergetar. Ternyata ada pesan dari nomor tidak dikenal.
"Hei ini aku Randika, kamu tidak mencatat nomorku tadi. Lain kali kalau kau senggang, aku ingin mengajakmu makan malam berdua."
Melihat pesan ini membuat Viona tersenyum lebar.
...…..
Ketika kembali ke rumah, waktu sudah menunjukan pukul 4 sore. Ibu Ipah tidak terlihat ada di rumah, dia pasti sedang berbelanja untuk makan malam.
Memanfaatkan keadaan sepi ini, Randika segera pergi ke kamarnya dan menyalakan komputernya. Dia segera menghubungi Yuna. Yuna yang berpakaian minim itu pun segera muncul di layar komputernya.
"Bagaimana keadaan di sana?" Randika sedang tidak ingin berbasa-basi.
Ketika mendengarnya, tubuh Yuna sedikit bergetar "Tuan tidak perlu khawatir, markas baru kita telah mulai dibangun kembali. Lokasi markas hanya diketahui olehku dan orang-orangku jadi tidak ada orang lain yang mengetahui lokasi ini."
Randika mengangguk puas. Pembangunan markasnya ini juga memerankan peran penting. Tanpa ramuan X, sangat sulit baginya untuk menahan kekuatan misteriusnya. Bahkan dengan bantuan Safira sekalipun, itu hanya bertahan 10 hari dengan catatan dia tidak bisa menggunakan tenaga dalamnya terlalu banyak. Jika orang-orang yang sedang bersembunyi di balik kegelapan itu keluar, dia yang sekarang tidak bisa melawan balik.
"Baguslah kalau begitu, kalau ada apa-apa segera kabari aku."
"Randika kau tidak perlu khawatir. Aku akan meramu ramuan X milikmu dalam sebulan." Yuna mengatakannya dengan muka serius. "Aku juga mengutus beberapa orang milikku untuk menyelidiki Bulan Kegelapan dan Harimau. Namun aku masih belum mendapat kabar dari mereka."
"Susah bagimu untuk menemukan markas maupun keberadaan mereka," Kata Randika. "Kau tidak perlu repot-repot mengatasi mereka berdua, serahkan mereka kepadaku!"
Ketika mengatakan hal ini, aura membunuh Randika sedikit keluar. Meskipun ada kemungkinan Bulan Kegelapan yang dia bunuh adalah palsu, mau yang asli keluar atau dalang yang asli juga ikut keluar, hal ini tidak membuatnya takut. Di bawah tatapan mata Ares, tidak ada orang yang bisa bersembunyi!
Setelah menyelesaikan percakapannya dengan Yuna, Randika mulai berpikir kembali mengenai masalah-masalahnya. Tidak diragukan lagi bahwa pengkhianatan Bulan Kegelapan dan Harimau disebabkan oleh sesuatu tetapi yang mengganjal dirinya adalah kenapa mereka bisa menemukan dirinya begitu cepat?
Hanya beberapa hari setelah dirinya tiba di Kota Cendrawasih, Naoki Moretti berhasil menemukan dirinya. Apakah Bulan Kegelapan dan Harimau memanfaatkan para mafia Italia itu? Randika tidak percaya akan hal itu.
Apakah salah satu anggota dari 12 Dewa Olimpus bisa dilacak oleh sekumpulan cecunguk? Kalau hanya mengandalkan para mafia itu rasanya susah untuk dipercaya.
Setelah memikirkan hal ini, Randika mengambil handphonenya dan memanggil Shadow.
"Ares sang Dewa Perang!"
"Selamat sore tuan!" Shadow membalas.
"Bagaimana dengan penyelidikanmu?"
"Bawahanku telah memastikan bahwa Bulan Kegelapan telah mati."
Mati?
Wajah Randika mengkerut ketika mendengar hal ini.
"Tuan, laboratorium Anda telah dihancurkan oleh Naoki Moretti, Bulan Kegelapan dan Harimau." Suara Shadow terdengar tenang. "Aku mengetahui bahwa Bulan Kegelapan berada di Amerika dan aku mengejarnya hingga ke Eropa, tetapi ketika aku di Perancis aku kehilangan jejaknya. Kemudian aku mengetahui bahwa dia berada di Indonesia."
Wajah Randika semakin mengkerut mendengarnya. Jadi Bulan Kegelapan yang dia bunuh ternyata adalah asli?
"Shadow, apakah kau tahu bahwa Bulan Kegelapan telah kubunuh pada hari itu?" Kata Randika ragu-ragu.
"Jika tuan berkata demikian, pasti Bulan Kegelapan telah mati." Kata Shadow. "Laporan intelijenku tidak menyinggung keberadaan sekaligus kabar mengenai Bulan Kegelapan sejak lama."
Kali ini Randika bingung. Apakah orang yang dia bunuh sebelumnya adalah Bulan Kegelapan yang asli? Kenapa dia merasa bahwa orang itu adalah palsu? Keraguannya ini bukanlah dengan alasan tidak mendasar. Ini adalah insting, insting yang telah dia asah selama bertahun-tahun yang membuatnya pantas menyandang nama Ares.
Tetapi Randika percaya akan kemampuan Shadow. Laporan intelijen Shadow tidak pernah menginformasikan hal yang salah. Jika dia mengatakan bahwa lawannya mati, pastilah orang itu mati. Keberhasilan Ares bertahan hidup hingga hari ini juga berkat informasi yang dikumpulkan oleh Shadow.
Bisa dikatakan bahwa Shadow adalah mata dan telinganya di seluruh dunia!
"Tetap perhatikan masalah ini dan jangan lengah." Kata Randika.
"Baik tuan!"
Setelah menutup percakapan mereka, Randika masih dilanda kebingungan. Jadi selama ini dugaannya salah?
Tidak mungkin! Selama ini instingnya tidak pernah salah. Orang yang dia bunuh pada malam hari itu jelas bukan Bulan Kegelapan.contemporary romance
Jadi di mana letak kunci permasalahan ini?
done.co