Chapter Bab 14
Setelah Asta selesai membicarakan masalahnya dengan Samara, dia berpesan kepada Michael untuk menghubungi supir dan
mengantar Samara pulang ke rumah. Asta melirik secarik kertas berisikan sederetan nomor telepon yang dipegangnya. Dia...
memang diluar dugaannya, tidak hanya Olivia yang menyukainya, bahkan Oliver juga sama! Dua bocah dirumahnya itu, hanya
sedikit takut dan menuruti perkataannya, bahkan paman, kerabat, Pak Michael serta pengurus rumah lainnya juga tidak akan
bisa menangani mereka berdua. Tidak hanya dua bocah itu yang tidak membencinya, dia sendiri juga merasakan hal yang
sama. Saat memikirkan kembali adegan panas yang terjadi didalam mobil tadi, Asta merasakan kalau ‘adik’ kecilnya yang ganas
kembali terbangun. Sialan! Sejak kapan dia kehilangan kendali dirinya terhadap seorang wanita? “Tok tok—” suara pintu yang
diketuk terdengar. “Masuk.” Asta memiliki daya ingat yang bagus, dia sudah menghafal nomor telepon yang dituliskan wanita itu
sejak tadi. Tapi dia tidak membuang kertas itu kedalam tong sampah malah memasukkannya kedalam laci. Alfa melangkah
masuk tanpa segan-segan, dan langsung mendudukkan dirinya ke sofa, dan bersila. “Kak, saya perlu membahas tentang lahan
di Kota Fana denganmu.” Wajah Alfa terlihat sedang meminta pujian dari kakaknya. Asta menatapnya dengan dingin : “Saat
kamu sedang bersama dengan Oliver, apa kamu pernah mengajarinya cara menggoda wanita?” Bibir Alfa berkedut, dia panik :
“Astaga! Tuan kecil adalah calon penerus Keluarga Costan, meskipun saya bernyali besar saya juga tidak berani mengajarinya
hal itu!” “Jangan main mata dengan wanita saat kamu sedang bersama dengan Oliver dan Olivia.” Alfa kebingungan : “Hah?”
“Meskipun kamu tidak mengajarinya, mereka bisa menirumu.” Tatapan mata Asta dingin : “Lain kali jangan sampai saya
menemukan Oliver mempelajari hal yang tidak-tidak darimu.” “Tidak-tidak? Keponakanku?” Alfa dan Asta saling berpandangan,
lalu dia bertanya dengan penasaran : “Karakter Tuan kecil itu sangat mirip denganmu...dingin, iya, dingin, dia tidak pernah
mendengar perkataan siapapun kecuali kamu, siapa yang dia goda?” “Kamu kenal, Samara.” Alfa terheran : “Dia? Apa yang
sebenarnya dia inginkan? Olivia saja sudah sangat menyukainya, sekarang bahkan Oliver, si jelmaan iblis kecil itu juga
menyukainya?” “Tidak tahu, dan tidak penting, saya hanya peduli apa dia bisa membantu Olivia untuk sembuh atau tidak.” “Kak,
wanita itu terlihat sangat mencurigakan.” Alfa mengangkat bahunya : “Mungkin saja dia sedang berpura-pura tahan pada kedua
anak itu, dan mencoba memancingmu lagi dan lagi, mungkin saja suatu saat akan berhasil!” Baru saja suara Alfa tenggelam,
dibalik pintu kamar yang tidak ditutup muncul dua sosok bocah kecil. “Paman, apakah matamu bermasalah?” Oliver
mengernyitkan keningnya, wajah tembemnya terlihat tidak senang pada Alfa. “Mata...mataku.....” “Dari segi mana dia jelek?”
Oliver melirik adiknya seolah meminta bukti : “Kalau tidak percaya, tanyakan pada Olivia.” Olivia sedang menggendong boneka
panda di tangannya, wajahnya yang bulat dan menggemaskan juga terlihat sangat serius, dan menganggukkan kepalanya
sekuat tenaga. Alfa pernah bertemu dengan Samara, wajahnya penuh dengan bintik-bintik, selain sepasang matanya coklatnya,
dia terlihat biasa-biasa saja, dari sisi mana dia bisa dikatakan cantik? Namun melihat mata kedua kakak beradik yang berbinar-
binar itu, dia menatap kakaknya seolah meminta bantuan. “Kak, sini sini, coba kamu beri sedikit penjelasan.” Secara tidak sadar,
Asta kembali memikirkan sepasang mata yang lincah itu dan berkata dengan perlahan : “Lumayan cantik.” Alfa terdiam. Apa
katamu?! Sudahlah! Sekelompok orang ini benar-benar egois, sekarang mereka bahkan menjadi buta!!! ... Malam harinya,
Samantha yang menginap di hotel tidak bisa menahan dirinya untuk tidak menelpon ke kediaman Keluarga Costan. Sudah lima
tahun, Samantha bahkan tidak memiliki nomor ponsel pribadinya Asta, masalah apapun harus disambungkan dari telepon
rumah yang diurus oleh Michael. “Tut....” Setelah sekian lama, teleponnya akhirnya tersambung. “Halo, Kediaman Keluarga
Costan.” “Pak Michael, ini saya.” Samantha tersenyum : “Apa Asta ada dirumah? Saya ingin mendiskusikan masalah anak-anak
dengannya.” “Nona Samantha, Tuan Muda Asta dan Tuan Muda Alex sedang membicarakan sesuatu diruang baca, sepertinya
dia tidak akan bisa mengangkat telepon darimu.” Pak Michael melaporkan dengan jujur. “Oh begitu ya...” Samantha masih tidak
bisa menahan perasaan kesepiannya, dan tangan kecilnya mencengkram erat sudut roknya. Demi memperdalam kesannya
sebagai seorang ibu yang penuh kasih, Samantha berpura-pura menanyakan : “Bagaimana kabar Olivia dan Oliver belakangan
ini? Apa mereka patuh? Terakhir kali saya harus pergi karena ada urusan mendadak, belum sempat menghabiskan waktu
dengan mereka, mereka tidak mengeluh pada Asta kan?” Pak Michael tidak tahu soal apa yang terjadi diantara Samantha
dengan Oliver dan Olivia, dia mengira, karena Samantha tidak tinggal bersama dengan putra putrinya, jadi sedikit kesulitan
untuk akrab, jadi dia menjawab pertanyaan Samantha dengan tulus. “Tuan Kecil dan Nona Kecil sangat baik, terutama karena
hari ini Tuan Muda Asta membawa pulang seorang tamu, saya sangat jarang melihat Tuan Kecil begitu ramah kepada orang
asing....” “Begitu ramah?” Samantha termasuk bibi kandung mereka, dan secara status adalah ibu mereka, tapi mereka bahkan
tidak pernah menunjukkan raut wajah senang kepadanya. Saat mereka belum bisa berbicara, mereka mengigitnya. Sekarang
ketika sudah bisa berbicara, mereka mengabaikannya, atau mencari cara untuk mengagetkannya. “Pak Michael, siapa tamu
itu?” Samantha bertanya dengan santai. “Seorang nona, sepertinya marganya Wijaya.” Samantha mengernyitkan keningnya.
Marganya Wijaya? Kalau begitu, orang itu semarga dengannya? Dan lagi, Oliver juga sangat akrab dengannya, sangat ramah
padanya? Rahasia yang dikubur dilubuk hatinya yang paling dalam seolah mulai merenggang, dan kegelisahan pun
menyelimutinya. “Pak Michael, apa kamu tahu apa nama lengkap wanita itu?” Pak Michael mencoba untuk mengingatnya lalu
menjawab : “Sepertinya...Sepertinya namanya Sa.. apay a? Oh, namanya Samara Wijaya!”