Chapter 484
Bab 484
+15 BONUS
Melihat wajah Selena yang tampak khawatir, Arya pun meletakkan pisau di
tangannya. “Kenapa, Nak? Ada masalah? Coba ceritakan padaku, jangan dipendam
sendiri.
“Oh nggak, kok, aku cuma se
“Oh nggak, kok, aku cuma sedang memikirkan nanti kita akan tinggal setelah anak.
ini lahir.”
Sebenarnya, Selena sudah tidak ingin terlibat lagi dengan Harvey. Namun,
bagaimana bisa dia melarikan diri dengan membawa anaknya? Ke mana dia harus
pergi?
Arya menghela napasnya pelan, “Dengar–dengar, Harvey sudah membeli rumah
keluarga Bennett. Mungkin, kita bisa kembali ke sana?”
“Ah, oke, aku akan memikirkannya lagi. Nggak usah buru–buru, kita masih punya banyak waktu.”
Selena menjawab ucapan Arya sembari mengambil pisau. “Bisa nggak Ayah
mengajariku? Aku juga mau meninggalkan kenangan untuk bayiku.”
“Tentu saja, aku akan mengajarimu.”
Melihat adegan yang harmonis itu dari kejauhan, Lian pun memotret dan
mengirimkannya kepada Harvey.
Pada saat itu, Harvey sedang sibuk memilih gaun di toko baju pengantin. Dia
terpesona saat melihat foto yang baru saja dikirimkan oleh Lian. Foto itu.
memperlihatkan Selena yang sedang memegang pisau dengan tangan kirinya,
sementara tangan kanannya menjepit potongan kayu kecil di atas meja.
Meskipun hanya dengan satu tangan, Selena terlihat sangat serius saat mengukir
kayu itu.
Harvey memperbesar foto itu hingga ukuran maksimal, bahkan bulu mata Selena
sampai bisa terlihat dengan jelas.
Dia teringat pada masa–masa ketika Selena pertama kali hamil. Setiap hari, dia
.15 BONUS
selalu saja berceloteh seperti seekor burung pipit kecil dengan mata yang berbinar- binar.
“Menurutmu, kita akan punya anak laki–laki atau perempuan? Kira–kira, kamar seperti apa yang harus kusiapkan, ya? Aku
harus beli gaun putri atau jas laki–laki? Wah, bahkan mainan juga harus dipilih–pilih, nih.”
Selena terus mengomel betapa merepotkannya semua itu, tetapi dia tidak pernah bosan untuk memilih barang–barang untuk
bayi mereka. Meskipun saat itu Harvey bersikap acuh tak acuh kepadanya, semua itu tidak menyurutkan kegembiraan. Selena
sedikit pun.
Perlahan–lahan, Selena menyadari sikap dingin Harvey kepada dirinya. Sejak saat itu, dia tidak lagi menanyakan pendapat
Harvey.
Sebenarnya, Harvey tahu betul kalau Selena pergi sendiri ke pasar perabotan rumah
tangga dan toko perlengkapan bayi.
Dengan hati–hati, dia memilih sendiri setiap barang yang dibutuhkan oleh bakal
calon anak mereka. Tentu saja, dia memilih barang yang kualitasnya paling bagus.
Dia terlihat sangat antusias dan menanti kelahiran anaknya dengan penuh harap.
Namun, pada akhirnya, perlakuan buruk Harvey kepada Selena membuat perasaannya campur aduk. Meskipun Selena
mencintai anak yang ada di kandungannya, tetapi dia juga merasa takut.
Sama seperti ulat yang sedang terluka, dia terlalu takut dengan dunia luar yang
penuh dengan bahaya, meskipun dirinya sendiri ingin sekali berubah menjadi kupu-
kupu.
Harvey mengulurkan ujung jarinya dan menyentuh layar yang dingin itu dengan
lembut.
Ini adalah satu–satunya cara agar dia bisa merasa lebih dekat dengan Selena.
“Harvey, apa menurutmu aku terlihat cantik dengan gaun pengantin ini?”
“Harvey, kamu lagi ngapain?”
Setelah Agatha memanggilnya beberapa kali, barulah dia berbalik dan melihat ke
+15 BONUS
arahnya. Senyum di wajahnya sudah menghilang.
“Hmm.” Harvey menjawab dengan acuh tak acuh, tatapan matanya tidak selembut.
seperti saat dia sedang menatap ponselnya tadi.
Agatha bukanlah orang yang bodoh, dia tahu persis apa yang ada di dalam pikiran pria itu. Namun, selama dia bisa menikah
dengan Harvey, baginya itu sudah cukup.
Bagaimanapun perasaan Harvey terhadap Selena, dia sama sekali tidak peduli. Toh, semuanya sudah menjadi masa lalu.
Posisi Nyonya Irwin hanya boleh menjadi miliknya, jadi dia berpura–pura tidak tahu. Dengan senyum lembut di wajahnya, dia
berkata, “Baju pernikahanmu juga sudah diambil, cobalah.
Harvey mengangkat kedua kakinya yang saling bersilangan dan menjawab dengan dingin, “Nggak usah, aku sudah
mengukurnya berkali–kali, nggak mungkin salah.”
Wajah Harvey tampak begitu serius, tidak seperti seorang pengantin laki–laki yang sedang menantikan pernikahannya.
“Ayo, dicoba saja, mumpung kita sudah sampai di sini. Nggak akan lama, kok,” bujuk Agatha dengan suara lembut,
Harvey berdiri dengan tidak sabar. “Oke, aku kucoba.”
Dia melangkah cepat menuju ruang ganti pria, tetapi ketika sedang melewati lorong, matanya tiba–tiba terpikat pada sebuah
gaun pernikahan yang menjuntai bak ekor putri duyung. Gaun itu terpajang di etalase toko.
Langkah kakinya terhenti sejenak. Kemudian, dia membalikkan badannya dan menempelkan telapak tangannya ke kaca etalase
itu.
Wajah Selena tiba–tiba terlintas di benak Harvey. “Harvey, kamu masih berutang sebuah pernikahan padaku.”