Chapter 460
Bab 460
Selena sudah terbiasa dengan sikap dingin Harvey. Awalnya, dia kira hal yang paling mengerikan adalah sifat Harvey yang
kasar di masa lalu.
Kini, dia baru menyadari, bertatap muka secara langsung tidak semenakutkan itu karena saat ini, Harvey tersenyum dan tampak
penuh kasih sayang di matanya.
Dia hanya menduga–duga saja, sungguh enggan mengungkapkan bahwa dia sudah hamil.
“Harvey, aku nggak akan pernah mencintaimu.”
Sayangnya, Harvey tidak peduli akan hal itu. “Seli, masa depan masih panjang,” tampiknya.
Selena tidak berdebat dengannya. Dia meringkuk patuh, tidak berani membuat Harvey makin marah.
Bicara secara logika dengan seseorang yang tidak waras, entah karena dia sudah bosan hidup atau dia merasa bosan dengan
Harvey.
Hal yang bisa dia lakukan sekarang hanya menunggu Arya pulih, menunggu anak dalam perutnya tumbuh besar dan melahirkan
dengan lancar, serta berusaha hidup lebih lama.
Sebelum itu, dia tidak bisa bertingkah onar.
Melihat Selenia menutup matanya, Harvey menyelimutinya dengan lembut dan membungkuk untuk
mencium keningnya.
“Seli, jangan coba–coba tinggalkan aku. Itu ide bodoh, paham?”
Saat itu, jelas–jelas bulan Juni, tetapi dia terlalu kedinginan untuk bergerak.
Harvey bukan orang gila, melainkan dalam keadaan setengah gila.
Esok paginya, dia terbangun diiringi kicau burung di pegunungan.
Tanpa sadar, dia menoleh ke samping, lalu mendapati Harvey dan Harvest yang telah menghilang.
Selena lekas membersihkan dirinya sebelum menyingkap tirai tenda.
Angin pagi yang segar di pegunungan dapat mengusir semua kekesalan di hati. Maka dari itu, Selena rakus saat menghirupnya.
Segala kepenatan di dadanya seakan–akan telah menguap.
Tidak jauh dari situ, Alex justru bertengkar dengan seekor tupal. Dia berdiri sambil berkacak pinggang dan terlihat murka. “Tupai
kecil, kalo kamu berani panjat pohon, kamu harus berani turun juga!” gertaknya.
Ada dua akar tuss
+15 BONUS
pinus kecil yang belum matang ke kepala Alex.
“Heh, tupai besar. Beraninya kamu melempariku! Lihat saja, aku akan hajar kalian semua!”
Setelah berkata begitu, dia menyingsingkan lengan bajunya dan mulai memanjat pohon layaknya ingin bertarung habis–habisan
dengan tupai.
Chandra sedang merebus air dan tidak tahu harus menyiapkan apa untuk sarapan. Dia menyadari arah tatapan Selena, lalu
menyapanya dengan lembut, “Nyonya.”
Di kejauhan, beberapa pengawal masih mengamati situasi sekitar. Sementara itu, beberapa orang lainnya tengah membuat
tungku tanah kecil. Entah apa yang mereka lakukan, asap tipis mengepul dari
tungku tersebut.
Selena mengamati sekelilingnya. “Tuan Harvey dan Tuan Muda Harvest ada di lembah depan,” ujar
Chandra mengingatkan.
“Aku sama sekali nggak peduli ke mana dia pergi.”
Selena menjawab dengan nada dingin, lalu sengaja beranjak ke arah yang berlawanan.
Beberapa saat kemudian, dia mendengar suara yang tidak asing. “Ibu, Ibu.”
Selena yang tengah melempar batu di pinggir sungai langsung berbalik untuk melihat Harvest.
Kaki si kecil bergerak sangat cepat. Sayangnya, ini bukanlah lantai rata seperti di rumah, membuat Selena buru–buru berdiri.
“Jalan pelan–pelan, jangan buru–buru,” ucap Selena mengingatkan.
Dia bicara seraya berlari menuju Harvest, tetapi geraknya agak terlambat.
Havest memegang sesuatu di tangannya dan berteriak, “Bunga, bunga.”
Ujung kakinya tersandung batu kecil, tubuhnya hilang keseimbangan, kemudian jatuh dengan keras.
“Harvest.”
Selena sangat khawatir, sehingga dia mempercepat langkahnya dan berlari ke arah–Harvest. Namun, Harvest sudah bangkit
lebih dulu, seolah–olah tidak terjadi apa–apa. Dia lekas berlari beberapa langkah untuk mengambil kembali mahkota bunga,
dibarengi senyum polos tersungging di wajahnya.
“Ibu. Bunga, bunga.”
Selena memperhatikan dengan saksama dan menyadari benda itu adalah mahkota bunga yang cantik dengan bunga segar
yang baru dipetik. Begitu menawan.
Harap o cemas Harvest mengangkat mahkota bunga, lalu memberi isyarat dengan tangannya. “Ayah,
ambil,”
Melihat Selena yang tidak bereaksi, Harvest meraih roknya dan menariknya pelan. “Ibu, pakai ini,”
pintanya.
+15 BONU
Tangan kecil itu terus menepuk–nepuk kepala kecilnya sebagai isyarat. Selena buru–buru berjongkok dan si kecil dengan
senang hall meletakkan mahkota bunga di kepala Selena.
Situasi ini persis sama seperti dalam mimpinya.